Mencari Titik Kritis dari Buku Bajakan
Salah satu hobi yang tidak pernah redup dalam hidup gue adalah membaca. Lebih tepatnya membaca tulisan. Jika lebih dikerucutkan, membaca buku yang berisi tulisan-tulisan. Bukan hanya buku pelajaran saja, tetapi buku teks lainnya senang gue baca. Misalnya novel, biografi, sejarah, dan kumpulan puisi/cerita. Hampir semua genre buku gue sukai. Buku komedi oke, buku yang serius boleh, buku-buku romantis siap gue lahap. Asal ada buku, gue sempatkan baca dan memang sudah dijadwalkan.
Sebelum lanjut lagi, buku yang gue maksud adalah buku fisik yaa.
Buku adalah jendela dunia... dengan membacanya kita membuka jendela itu untuk melihat cakrawala nan indah di luar sana. Ini jelas sangat terbukti ketika proses penerbitan buku (yang pernah gue alami), dari file word sampai menjadi buku yang beridentitas sehingga dapat dinikmati banyak pembaca, begitu ketat dan (kalau boleh dibilang) sangat selektif, apalagi bagi penulis-penulis baru/merintis dari nol besar.
Ya, begitu buku diterbitkan, tidak hanya sampai situ saja, Sob! Begitu buku siap dipasarkan, gak cuma dijual-jualin doang atau numpang ke toko buku untuk dijualkan. Tidak! Dari situ pihak penerbit maupun penulisnya mesti promosi, branding bukunya agar laku dan menghasilkan rupiah. Gue bisa pastikan, seidealis-idealisnya penulis pasti tetap butuh uang. Kalo dia gak makan (yang pastinya memerlukan uang), bagaimana ia bisa menulis dan menelurkan karya lagi? Yang paling dekat adalah mencetak buku itu perlu uang (biaya).
Kita ambil contoh, Mizan Group (seperti Bentang Pustaka, Noura Publishing, dan lainnya) ketika menerbitkan buku, mereka tidak asal menerbitkan. Ada proses seleksi, editing, sampai promosi. Buku yang telah diterbitkannya, misal, Islam Tuhan Islam Manusia karya Haidar Bagir membuat kita berpikir "jangan gampang mengafirkan orang lain dengan mudah" atau Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia-nya membuat kita menjadi "melek" pendidikan dan tersadar dibuatnya.
Dokumen pribadi. Diambil dengan kamera Xiaomi Redmi 4A di Bogor Tengah. |
Penerbit-penerbit dan penulis-penulis lain pun tidak kalah berjuangnya dalam menerbitkan buku. Salah satu buku dari M. Quraish Shihab yang memberi kita pemahaman mengenai akhlak lewat bukunya Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Atau karya Buya HAMKA yang tak habis dimakan zaman, Tasawuf Modern, sampai sekarang tetap "bermanfaat".
Tentunya, naskah yang ditulis oleh penulis buku (yang telah gue sebutkan di atas dan selainnya) dengan sepenuh hati dan pemikiran yang tidak main-main. Mengorbankan waktunya untuk merawat bayi bukunya sampai dewasa dan bisa menampakan dan tampil di etalase toko buku.
Nah, berdasarkan uraian gue di atas, apakah masih tega membajak dan/atau membeli buku bajakan yang pendapatan dari penjualannya malah masuk ke kantong yang tidak berhak mendapatkannya? Bahkan pelaku kejahatan itu (ya, ini memang sudah bisa dikatakan sebagia kejahatan karena memang sudah aturan dan undang-undang yang mengaturnya, bukan di sini tempat membahasnya) meraup keuntungan hanya dengan memperbanyaknya saja dan kualitas (kertas, cover, tata letak)nya amat buruk. Bahkan kalau kualias fotokopiannya bagus, apakah kita masih tega mencuri hak orang lain yang perjuangannya tidak mudah? Kalau orang yang logikanya masih bener, gak banyak belok-belok dan waras, tentu tidak tega.
Kalau gak bisa beli buku fisik (yang orisinal), bisa beli edisi ebook dari buku tersebut. Harganya pun lebih terjangkau, tanpa menyakiti penulis dan penerbitnya. Atau alternatif lainnya menunggu ketika ada diskon atau promo cashback dan sejenisnya. Lagian diskon buku sangat mudah untuk didapatkan hari ini, baik online maupun offline, misal kita bisa beli buku orisinal di Mizanstore.com yang selalu saja ada diskon buku atau promo lainnya. Gramedoi juga suka ada promo dengan metode-metode pembayaran tertentu. Dan masih banyak jalan lainnya.
Kualitas tulisan di buku bajakan pun tembus pandang antar kertasnya. Ya, kualitas kertasnya aja buruk, jadi nyerempet ke mana-mana. Salah satunya, seperti yang telah dijelaskan, tulisannya tembus pandang.
Coba bayangkan di kehidupan nyata agar lebih terasa dampak dan efeknya. Ketika kita di suatu tempat terus di intipin sama orang lain, agak risih juga kan. Contoh ketika kita membalas pesan di tempat umum, terus orang di sebelah kita ngepoin, kemungkinan besar kita akan berpikir, "Ngapain sih ni orang, ngintip-ngintip."
Nah, begitu juga dengan membaca buku bajakan. Ketika membaca satu halaman, lalu kita diintipin sama halaman lain itu bakal ganggu dan membuyarkan konsentrasi. Akhirnya jadi malas untuk lanjut membaca lagi.
Lalu, yang menjadi keadaan gawat dan maraknya pembajakan buku adalah mahalnya harga buku orisinal. Buku teks perguruan tinggi kadang harganya tidak cocok dengan kantong mahasiswa rantau (gue sangat merasakannya saat ini). Atau bukunya tidak ada di pasaran lagi, tapi kalo ini bisa diakali dengan membeli ebook yang original. Kalau memang tidak ada sama sekali, kita bisa mencari referensi lain di internet. Banyak bertebaran referensi yang validasinya bisa dipertanggungjawabkan di internet, scholar.google.com bisa menjadi mesin pencari yang dapat diandalkan.
Tapi, buku bajakan tetap ada kelebihannya. Di antara:
- Lebih memberi beban kepada penulis maupun penerbit buku
- Lebih menyulitkan ekonomi Indonesia karena merupakan suatu tindakan kejahatan
- Lebih buruk kualitasnya dibanding buku orisinal
Sekian penjelasan singkat (sekaligus unek-unek) gue terhadap dunia perbukuan. Gue sangat berharap pembajakan buku setidaknya dapat berkurang berangsur-angsur hingga lenyap.
Terakhir,
Yuk beli buku dan baca buku orisinal!
Karena itu akan berdampak baik bagi penulis buku, penerbit, penjual buku (orisinal), dan orang-orang yang terkaitnya termasuk kita sebagai pembaca.
Salam
Esto Triramdani N
orang masih merangkak dan belajar untuk menghargai semua hal di bumi
Kok baru sadar ya mengenai buku bajakan yang seolah-olah seperti membajak diri sendiri.
BalasHapusSangat menginspirasi mantappp
Nah, makanya sebagai manusia yang masih berhati nurani, bacalah buku yang bukan bajakan. :)
Hapus