Merasa Cukup dengan Berhenti Mencari

You will never found the best one if you are still searching for the next one.
Kalimat nan sederhana akan memulai post kali ini. Gue harap, sebelum membaca kelanjutannya, pembaca paham mengenai kalimat tersebut. Paham mengenai maknanya, tentunya. Kalau sulit untuk melakukan hal itu--memahami maknanya, senggaknya tau artinya.

Sebuah hal yang sangat lumrah dan sudah menjadi rahasia umum bahwa manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah puas dengan apa yang telah didapatkannya. Mulai dari pekerjaan, pendidikan, teman, kekayaan, dan masih banyak aspek kehidupan lainnya yang manusia tidak akan pernah capai titik kepuasaan maksimal.

Sedikit gue mengutip sebuah hadis, begini isinya
“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)
Satu lagi:
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)
Sebenarnya ada sumber lain yang menyatakan bahwa manusia makhluk yang tidak pernah puas. Silakan temen-temen bisa search di Google atau mesin pencarian lainnya mengenai hal itu. Bisa pula mencari di berbagai literatur lain, baik di literatur agama, sosial,  maupun yang lainnya. Yang akan gue tekankan di sini yakni subtansinya.

.Setelah membaca beberapa buku yang berkaitkan dengan hal ini, tulisan-tulisannya Buya HAMKA, M. Quraish Shihab, Ahmad Fuadi, Dee Lestari, Haidar Bagir, Emha Ainun Najib, dan beberapa penulis lainnya yang tentunya tidak habis gue baca dalam satu malam gue dapat menarik kesimpulan, bahwa seseorang memang memiliki kencenderungan untuk mencari yang lebih baik. Baik itu buku fiksi (seperti kebanyakan buku-bukunya (novel) Dewi Lestari dan Ahmad Fuadi) maupun nonfiksi (tulisannya M. Quraish Shihab dan Haidar Bagir), kedua terdapat pesan yang tersurat dan tersirat mengenai hal itu.

Gini, sesuatu akan terlihat bagus ketika ada yang jelek (atau yang kurang bagus lainnya). Tentunya hal itu mempunyai standar yang berbeda di setiap orang. Masalahnya adakah standar baku mengenai bagus tidaknya seseorang? Kalau standar baku (misalnya) baik tidaknya pemerintah, okay, masih ada. Tapi untuk individu, gue rasa tidak ada standar bakunya. Jangankan mikirin orang lain, mikirin diri sendiri juga belum kelar.

Nah, ketika kita telah mempunyai sesuatu, kita ibaratkan pacar, kemudian malah cari yang lain. Itu karena kita menganggap kalau dengan yang lain kita akan lebih baik.. ya itu awal mulanya karena kita gak puas dengan apa yang telah kita miliki. Lebih baik, perbaiki hubungan dengan pacar yang sekarang.

Atau dalam pekerjaan, terus mencari pekerjaan baru ketika belum tahu apa-apa tentang pekerjaan tersebut. Kalo ini, dalam pandangan gue--meskipun belum terlalu serius terjun ke dunia profesional, sepertinya kurang bagus aja. Ketika belum tahu apa-apa, terus ditinggalin, kan sakit hati juga. Kalau sudah tahu seluk-beluknya, barulah kita bisa membuat sesuatu kesimpulan. Karena dalam dunia kerja, loncat-loncat pekerjaan adalah hal biasa (berdasarkan cerita alumni-alumni dari kampus gue).

Baik dalam hal pasangan maupun pekerjaan, keduanya selalu ada hasrat merasa tidak puas. Tidak menutup kemungkinan dalam aspek kehidupan lain ada rasa ketidakpuasan terhadap sesuatu. Hanya dua contoh yang bisa sedikit gue singgung pada kesempatan ini.

Tentunya tidak semua hal seperti itu. Maksudnya, ada juga beberapa hal yang kalau kita tidak merasa puas itu malah baik. Seperti mencari ilmu, menambah network di karir, mencari kawan bisnis baru, berbuat kebaikan dalam bentuk sedekah materi maupun materi. Namun harus ditekankan juga bahwa hal-hal yang telah disebutkan dalam paragraf ini, harus pula tahu batasannya (dalam kata lain harus mencukupkan atau dicukupkan pula). Misal, kalau kita mencari ilmu, terus-terusan, bahkan ilmu itu memang sudah tidak bisa dijangkau oleh akal manusia maka bisa pula pemahamannya tentang ilmu bisa melenceng. Contoh dalam ilmu agama, tidak semua hal yang bisa kita ketahui. Ada sesuatu yang tidak bisa kita jangkau dan hanya keimanan yang bisa kita andalkan.

Jadi, alangkah baiknya kita mempunyai batasan tersendiri dan merasa cukup dengan apa yang dipunya. Tidak masalah jika ingin mencari, menambah, maupun mengoleksi sepanjang itu masih bisa diambil manfaat yang sebenarnya.

Sekarang kembali ke judul, walaupun di sana gue tulis "dengan berhenti mencari", gue harap pembaca dapat mencernanya kembali. Juga gue harap pembaca dapat mengartikan petikan yang gue simpan paling awal sesuai dengan uraian yang telah gue sampaikan.

Sebelum menutup, perlu digarisbawahi, gue sama sekali tidak menyarakan pembaca untuk berhenti mencari dan berjuang, namun di sisi lain pula (khususnya dalam hal pasangan) gue menyarankan untuk berhenti mencari dan segera memperbaiki (jika perlu) hubungan yang telah dibangun.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.