Bahagia Untuk Kebahagiaan



Salah satu hal yang didambakan semua makhluk--setidaknya manusia--di persada bumi adalah kebahagiaan. Kebahagiaan perlu dijemput, tidak hanya ditunggu untuk mendapatkannya. Meski, untuk beberapa kasus, bahagia bisa datang dengan sendirinya. Seperti mendapatkan nilai baik ketika pengumuman UN di sekolah. Itu pun sebelumnya kita menantikan terlebih dahulu pengumuman itu. Intinya, perlu diusahakan.

Ketika dalam suatu hubungan ada masalah yang tidak bisa dielakkan lagi, mestilah ada suatu usaha yang membuat bahagia untuk meredam bahkan menyelesaikan masalah itu.

Mungkin, karena keterbatasan gue, ada kebahagiaan yang memang tidak perlu ditunggu dan atau dijemput.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahagia memiliki definisi: keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menyambung dari kata tenteram, ketenteraman pun harus kita ciptakan sendiri. Misal, ketika dalam keramaian, jika ingin tenteram tentunya kita mencari tempat yang tidak ramai agar tenteram (terlepas dari definisi tenteram itu sendiri). Atau dalam keadaan sepi, kita juga perlu membuat suasana hati kita tenteram karena bisa saja dalam sepi, kita malah menggalau. Sepengetahuan gue, sih, begitu.

Sedikit mengutip dari tempat lain, Buya HAMKA di bukunya Tasawuf Modern, di bab satu dan dua membahas mengenai apa itu kebahagiaan, bisa gue tarik kesimpulan bahwa bahagia tercipta sesuai dengan keadaan, tempat, waktu, dan momen. Orang fakir mengatakan kebahagiaan pada kekayaan. Orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan. Seorang penganjur rakyat, berpendapat bahwa kemerdekaan dan kecerdasan umat bangsa yang dipimpinnya itulah bahagia. Seorang jurnalis merasa bahagia jika surat kabarnya dan timbangan redaksinya dipahami orang. Begitulah kira-kira.

Tapi, yang ingin gue bahas di sini bukan bahagia secara runut dan mengakar. Selain ribet, takutnya gue salah kaprah. Cukuplah, jika memang salah kaprah, itu hanya tersaji di tiga paragraf awal atau bahkan nyaris di semua tulisan ini. Karena gue hanya seorang mahasiswa teknik komputer yang kebahagiaannya ada ketika robot yang gue rangkai bisa bergerak atau program yang gue ketik tidak ada error.

Yang mendorong gue menulis ini adalah sesuatu yang sederhana: menolong nenek-nenek bawa tabung LPJ di tangga yang sangat populer di Bogor Tengah yang belum memiliki nama.

Ketika gue pulang dari Taman Kencana setelah cari makanan di sana, lalu mau balik lagi ke Asrama Felicia IPB (tempat tinggal gue saat tulisan ini dibuat) lewat tangga itu. Gue melihat ada seorang manula yang menuruni tangga sambil membawa tabung LPJ tertatih. Bisa saja gue, melewatkannya. Tapi, entah ada angin apa, gue kepengen bantu beliau. Lalu gue bantu, “Sini saya aja yang bawakan.” Nenek itu agak bingung, “Oh gak usah, Nak,” jawabnya dalam bahasa Sunda. “Udah gak apa-apa, sekalian ngelewat aja, kok.” Jawab gue dalam bahasa Sunda juga. Basa-basi gitu deh.

Setelah gue membantu nenek itu, entah kenapa gue merasa ada sebuah kebahagiaan yang meletup dalam hati.

Ketika berjalan ke asrama gue berpikir kenapa bisa hanya dengan melakukan hal sederhana itu bikin gue bahagia. Teringatlah kepada buku yang hanya gue baca secuil yakni Tasawuf Modern dan diskusi dengan kakak tingkat bahwa kebahagiaan itu “menyesuaikan”.

Ketika gue melihat ke belakang, nenek itu masuk ke rumah. Setidaknya gue tahu nenek itu manusia beneran.

Gue dapat berkesimpulan bahwa:

Seperti yang dikatakan HAMKA, bahwa kebahagiaan itu sangat tergantung pada keadaan, kala itu juga keadaan gue dihadapkan “Kalo gue ngelewat begitu aja gak enak ke neneknya” (kasarnya begitu). Ukuran kebahagiaan sangatlah acak. Jadi, jika Anda baca artikel “Tips Bahagia” atau sejenisnya, cukup bacalah dan renungi substansinya. Bahagia itu hanya soal kata, selebihnya pikirkan sendiri.

Pengusahaan kebahagiaan akan lebih mudah terjadi jika ada kesempatan. Jika gue tidak mendapati nenek itu, mungkin gue hanya akan melewati tangga tanpa ada rasa bahagia setelahnya. Contoh lainnya--yang tidak mudah--adalah ketika kita mendapat nilai bagus saat ujian pengusahaannya adalah dengan cara belajar.

Selain diusahakan, bahagia perlu dicukupkan pula. Kalo nenek tadi meminta gue membawakan tabung LPJ-nya tidak hanya turun tangga malah minta antar ke rumahnya yang ada di Bandung (iya, ini berlebihan, cuma “kalo” doang kok), mungkin gue akan malas dan tidak bahagia dengan itu.

Last but not least, menolong sesama dapat menimbulkan kebahagiaan.

Supaya lebih keren, gue akan tutup dengan quotes,
Bahagia adalah sebuah kecukupan yang mesti diperbanyak dan diusahakan.
Sekian.


Salam bahagia,


Esto Triramdani N

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.